Laporan keuangan bagi sebuah perusahaan adalah hal penting. Laporan keuangan menjadi tolak ukur yang merepresentasikan kinerja perusahaan. Namun di era perusahaan digital atau lebih dikenal dengan istilah perusahaan Start Up, laporan keuangan terlihat tidak terlalu penting. Bahkan dianggap tidak ‘berfungsi’ di perusahaan digital, benarkah?
Laporan keuangan selalu menjadi salah satu alat informasi mengenai kondisi keuangan perusahaan. Dalam buku The End of Accounting, NYU Stern Professor Baruch Lev mengklaim bahwa 100 tahun terakhir, laporan keuangan tidak menjadi hal penting dalam keputusan pasar modal.
Disebutkan dalam buku tersebut, penelitian terbaru memungkinkan kami membuat klaim yang lebih berani: laba akuntansi praktis tidak relevan untuk perusahaan digital. Tentunya isi buku milik Stern tersebut mengejutkan para pemain pasar modal dan para pelaku usaha perusahaan konvensional.
Hal itu juga terbukti dari beberapa perusahaan digital yang berani melakukan IPO (Initial Public Offering) meskipun laporan keuangan perusahaan menunjukan perusahaan tersebut dalam keadaan rugi.
Pada 13 Februari 2018, The New York Times melaporkan bahwa Uber merencanakan IPO. Saat itu, nilai Uber diperkirakan berkisar antara $ 48 hingga $ 70 miliar, meskipun melaporkan kerugian selama dua tahun terakhir. Bahkan Uber sejak akhir tahun 2017 hingga Februari 2018 sudah bersiap-siap hengkang dari Asia Tenggara, pada akhirnya terbukti di akhir Maret 2018, Uber menyerahkan seluruh bisnisnya kepada Grab.
Ternyata hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh satu perusahaan. Melainkan banyak perusahaan digital. Bahkan banyak perusahaan berani mengakuisisi perusahaan-perusahaan besar, meskipun perusahaan yang mereka beli sedang dalam keadaan bangkrut.
Seperti Microsoft yang berani membayar Linkedin sebesar $26 miliar atau setara Rp. 349 triliun. Padahal saat itu, Linkedin sedang dalam keadaan rugi. Begitupun Facebook yang berani membeli WhatsApp sebesar $ 19 miliar padahal WhatsApp tidak memiliki keuntungan sama sekali.
Hal ini menjadi sangat jelas ketika Anda melihat dua laporan keuangan perusahaan yang paling penting: neraca dan laba rugi. Bagi perusahaan industri yang memiliki aset fisik dan barang, neraca keuangan akan memberikan gambaran yang wajar mengenai aset produktif dan laporan laba rugi dalam memberikan perkiraan biaya yang wajar untuk menciptakan nilai bagi pemegang saham. Namun pernyataan tersebut tidak begitu penting bagi perusahaan digital.
Apa yang Membuat Perusahaan digital Lebih Menantang dan bagaimana mereka meningkatkan laporan keuangan mengkomunikasikan sumber nilai dalam bisnis?
Jika kita membaca kembali paragraf sebelumnya, dijelaskan bahwa pada neraca keuangan harus dijelaskan suatu yang bersifat fisik, harus dimiliki perusahaan, dan ada dalam batas-batas perusahaan. Tetapi pada perusahaan digital, sering sekali mereka tidak memiliki aset. Yang mereka miliki adalah ekosistem.
Seperti halnya Go-Jek, apakah mereka memiliki aset kendaraan yang digunakan untuk operasional mereka? Situs properti Airbnb pun apakah mereka memiliki aset properti untuk disewakan? Begitupun Tokopedia dan Bukalapak di Indonesia yang tidak memiliki barang untuk dijual. Sehingga hal ini mengharuskan neraca keuangan perusahaan digital sudah tentu berbeda dengan perusahaan yang melahirkan bentuk fisik.
Gagasan yang Bertentangan dengan Keuangan Tradisional
Modal Finansial Dianggap Tak Terbatas, Namun Manusia Terbatas
Tak dipungkiri perusahaan-perusahaan digital selalu terlihat ‘membakar uang’ demi mendapatkan hati konsumennya. Bahkan banyak yang menganggap dan bertanya “Dimana untungnya?” pertanyaan seperti ini sering sekali terlontarkan dari masyarakat awam mengenai perusahaan digital. Seperti halnya Go-Jek saat awal-awal muncul, banyak yang bertanya “Untungnya Go-Jek darimana?”
Setiap perusahaan digital selalu menganggap sumber daya manusia mereka sebagai aset yang paling berharga. Perusahaan digital selalu beranggapan bahwa mereka selalu dapat meningkatkan modal finansial demi memenuhi kekurangan dana mereka atau menggunakan saham demi dapat menggaji karyawan.
Resiko Dianggap hal Istimewa, Bukan Kekeliruan
Resiko adalah hal yang selalu dihindari dalam setiap bisnis. Bahkan kalau bisa resiko itu tidak terjadi. Ternyata pemikiran tersebut dianggap sebagai model penilaian tradisional. Sebaliknya, perusahaan digital selalu mengejar proyek-proyek berisiko seperti mengejar hadiah lotre.
Ide bisnis dengan prospek yang tidak pasti namun ada kesempatan untuk mencapai satu miliar dolar itu lebih berharga. Dibandingkan proyek dengan nilai ratusan juta dolar tetapi tidak ada peluang kenaikan yang besar. Di Start Up, karyawan tidak dituntut untuk mencari laba perusahaan. Tetapi mereka dituntut untuk bisa menghadirkan ide terobosan unik dan baru bagi perusahaan.
Dulu, laporan keuangan selalu menjadi acuan bagi investor untuk menanamkan dananya. Namun, kini investor menyimpulkan bahwa perusahaan yang paling sukses dengan puluhan miliar dolar valuasi tidak pernah dapat membenarkan penilaian pada awal operasi berdasarkan arus kas yang di diskontokan. Sehingga investor bersama manager menyesuaikan pendekatan dengan resiko yang sesuai.
Ide Lebih Dipandang daripada Pendapatan
Orang-orang akuntansi selalu diajarkan bagaimana menilai kinerja perusahaan dari arus kas atau laba yang di diskontokan untuk masa depan. Konsep seperti ini ternyata tidak berlaku pada perusahaan digital atau Start up. Mereka selalu menganggap bahwa memperoleh laba seperti bermain lotre.
Para CFO pun beranggapan bahwa mereka tidak bisa berpikir untuk kapitalisasi pasar seperti pemikiran tradisional. Mereka mengira nilai mereka adalah apa yang mereka kerjakan dengan sejumlah hasil skenario terbaik. Bahkan ada seorang CFO perusahaan digital yang beranggapan bahwa penilaian harus dipertimbangkan sesuai dengan ide bukan berapa penghasilan yang diperoleh.
Ketika teknologi digital menjadi semakin merajalela, semakin banyak perusahaan menghadirkan tantangan penilaian semacam ini. Mengingat, banyak investor yang menanamkan modalnya di perusahaan digital tidak dapat memperkirakan berapa nilai dari perusahaan-perusahaan yang ia tanamkan modalnya.
Tentunya sebuah perusahaan digital melihat nilai sedikit dalam mengungkap rincian proyek yang mereka jalankan dan merencanakan proyek yang dijalankan akan menjadi pemasukan keuangan bagi perusahaan.
Menjadi Perusahaan Ventura
Banyak perusahaan tradisional yang menyadari potensi disrupsi dalam bisnis mereka saat ini, terlebih dengan hadirnya perusahaan-perusahaan digital. Namun perusahaan tradisional tidak memiliki infratstruktur yang cukup untuk menghadapi persaingan dengan perusahaan digital.
Hal ini membuat perusahaan tradisional menggencarkan strategi lain untuk tetap bisa bertahan hidup. Pertama, mereka menyediakan modal usaha untuk mengatur perusahaan. Sehingga perusahaan yang memiliki inovasi dan ide-ide disruptif akan diberikan modal yang relatif tidak terbatas untuk dikembangkan.
Kedua, perusahaan membeli sebuah perusahaan untuk melakukan rekayasa dan bakat desain produk, bukan sekedar untuk mendapatkan keuntungan belaka.
Laporan Keuangan akan Bergantung Metrik non-PSAK
Ketika perusahaan semakin sulit di nilai dan semakin banyak perusahaan yang melaporkan pendapatan yang negatif, analis melakukan beberapa penyesuaian untuk tetap menciptakan kembali keuangan perusahaan dalam penilaian internal mereka.
Salah satu contohnya, perusahaan harus mampu memanfaatkan sebagian pengeluaran R&D yang dapat meningkatkan kemampuan bersaing perusahaan di masa depan dan mengurangi sebagian investasi modal yang hanya mempertahankan kemampuan kompetitif perusahaan.
Akuntansi Tidak Dianggap sebagai Nilai Tambah
Banyak dari CFO perusahaan digital menganggap laporan keuangan sebagai latihan dalam kepatuhan peraturan belaka dan menemukan sumber daya yang dihabiskan untuk audit dan pelaporan keuangan sebagai pemborosan bagi pemegang saham.
Para CFO perusahaan start up menganggap bahwa perhitungan profibilitas berbasis PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) atau prinsip umum akuntansi menjadi penghalang dan gangguan bagi keputusan alokasi sumber daya internal mereka.
Dari artikel yang bersumber dari tulisand di Harvard Bussiness Review ini bisa menjadi acuan para pemangku kepentingan di perusahaan-perusahaan digital untuk bisa memikirkan kembali mengenai model laporan keuangan yang harus dimiliki.
Seperti halnya lebih mendorong pada pengungkapan terkait pada nilai per pelanggan, pendapatan atau hasil pendapatan yang terkait dengan proyek-proyek tertentu yang berjalan, dan bagaimana R&D serta perangkat lunak digital diandalkan.
Hasil penelitian tersebut tentunya cukup mengejutkan banyak pihak. Laporan keuangan yang selama ini dianggap menjadi suatu hal penting pada perusahaan konvensional, kini menjadi hal yang harus diperbarui oleh perusahaan digital. Sehingga perusahaan digital harus memikirkan kembali bentuk dan model laporan keuangan yang bisa menyesuaikan dengan kondisi perusahaan digital yang mereka miliki.